EKONOMI

Pengaruh Eskalasi Perang Dagang Amerika Serikat dan China terhadap Stabilitas Ekonomi Indonesia

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang kembali memanas pada tahun 2025 telah menjadi ancaman serius bagi perekonomian global termasuk Indonesia. Konflik ini yang sempat mereda kini kembali bergulir dengan penerapan tarif baru yang lebih ketat sehingga menciptakan ketidakpastian di pasar internasional. Indonesia sebagai negara yang bergantung pada ekspor komoditas dan integrasi dalam rantai pasok Asia Tenggara merasakan dampak langsung dari perselisihan ini. Meskipun tidak terlibat secara langsung sebagai pihak utama Indonesia menghadapi risiko penurunan pertumbuhan ekonomi gangguan perdagangan serta fluktuasi nilai tukar. Analisis terhadap situasi ini menunjukkan bagaimana eskalasi tersebut memengaruhi berbagai aspek kehidupan ekonomi nasional mulai dari sektor keuangan hingga industri manufaktur.

Dampak pertama yang paling mencolok adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Ketika Amerika Serikat mengumumkan rencana tarif tambahan hingga 25 persen terhadap barang impor dari China investor global cenderung menarik dana mereka dari pasar negara berkembang seperti Indonesia untuk menghindari risiko. Hal ini menyebabkan rupiah mengalami depresiasi signifikan dengan nilai tukar yang sempat menyentuh level Rp15.000 per dolar pada awal Oktober 2025. Pelemahan ini membuat biaya impor bahan baku seperti minyak bumi dan komponen elektronik menjadi lebih mahal sehingga mendorong inflasi domestik naik sekitar 1 persen di atas proyeksi pemerintah. Sektor industri yang bergantung pada impor seperti otomotif dan tekstil merasakan tekanan ini secara langsung dengan peningkatan biaya produksi yang akhirnya memengaruhi harga jual produk di pasar lokal. Selain itu perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang tidak memiliki cadangan devisa yang kuat terpaksa mengurangi skala operasional mereka untuk bertahan di tengah ketidakpastian ini.

Selanjutnya eskalasi perang dagang ini juga memicu volatilitas di pasar saham Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan mengalami penurunan tajam sekitar 3 persen dalam seminggu terakhir akibat kekhawatiran investor atas potensi gangguan rantai pasok global. China sebagai mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai perdagangan mencapai miliaran dolar setiap tahunnya mengalami penurunan permintaan ekspor dari Amerika Serikat sehingga permintaan terhadap komoditas Indonesia seperti nikel batubara dan minyak sawit ikut menurun. Ekspor nikel misalnya yang merupakan andalan Indonesia ke China turun sekitar 10 persen karena pabrik-pabrik di sana mengurangi produksi untuk menghindari tarif balasan. Hal ini tidak hanya memengaruhi pendapatan negara dari sektor pertambangan tetapi juga lapangan kerja di daerah seperti Sulawesi dan Kalimantan di mana ribuan pekerja bergantung pada industri ekstraktif. Di sisi lain sektor saham teknologi dan manufaktur di Bursa Efek Indonesia menjadi korban karena ketergantungan pada komponen impor dari China yang kini lebih mahal akibat konflik.

Investasi asing langsung juga terdampak secara langsung oleh dinamika ini meskipun ada sisi positif yang bisa dimanfaatkan. Banyak perusahaan multinasional yang sebelumnya beroperasi di China kini mencari alternatif di Asia Tenggara termasuk Indonesia untuk relokasi pabrik mereka. Pada tahun 2025 investasi dari perusahaan China ke Indonesia meningkat sekitar 15 persen terutama di sektor elektronik dan infrastruktur dengan proyek baru di Jawa dan Sumatera. Namun ketidakpastian geopolitik membuat aliran investasi ini tidak stabil karena investor ragu untuk berkomitmen jangka panjang. Selain itu proyek-proyek besar seperti pembangunan kereta cepat atau kawasan industri sering kali tertunda akibat fluktuasi harga bahan bangunan yang terpengaruh oleh tarif internasional. Pemerintah Indonesia terpaksa menawarkan insentif tambahan seperti pembebasan pajak untuk menarik investor meskipun hal tersebut membebani anggaran negara.

Dari perspektif ketahanan pangan dan pertanian dampaknya juga tidak kalah serius. Tarif balasan dari China terhadap produk pertanian Amerika Serikat seperti kedelai menyebabkan harga global melonjak sehingga biaya pakan ternak di Indonesia naik drastis. Peternak di Jawa Barat dan Sumatera Utara menghadapi peningkatan biaya hingga 20 persen yang memengaruhi produksi daging dan susu. Akibatnya harga pangan domestik naik dan daya beli masyarakat menurun terutama di kalangan kelas menengah bawah. Sektor pertanian Indonesia yang ekspornya bergantung pada pasar China seperti buah tropis juga mengalami penurunan permintaan karena konsumen di sana mengurangi pengeluaran akibat tekanan ekonomi. Hal ini memperburuk defisit neraca perdagangan Indonesia yang sempat membaik pada tahun sebelumnya.