OLAHRAGA

Mengapa Patrick Kluivert Belum Terbukti Layak Memimpin Timnas Indonesia Menuju Kesuksesan Jangka Panjang

Sepak bola Indonesia yang sedang dalam fase transisi pasca-kegagalan lolos ke Piala Dunia 2026 telah menimbulkan perdebatan sengit mengenai kepemimpinan pelatih asing di tim nasional dengan fokus utama pada Patrick Kluivert yang menjabat sejak awal tahun 2025. Meskipun Kluivert membawa nama besar sebagai mantan bintang Ajax dan Barcelona pengalamannya sebagai pelatih masih dipertanyakan terutama dalam konteks sepak bola Asia yang penuh dengan tantangan unik seperti iklim panas persaingan ketat dan adaptasi taktik cepat. Kegagalan Timnas Indonesia di ronde keempat kualifikasi Piala Dunia dengan dua kekalahan beruntun menunjukkan bahwa strategi Kluivert yang cenderung mengandalkan permainan menyerang ala Eropa belum sepenuhnya cocok dengan kekuatan pemain lokal yang lebih mengandalkan kecepatan dan semangat juang daripada penguasaan bola panjang. Hal ini bukan hanya soal hasil tapi juga tentang visi jangka panjang di mana Kluivert tampak kurang mampu membangun fondasi yang kokoh untuk generasi muda Indonesia yang berpotensi besar.

Salah satu alasan utama mengapa Kluivert dianggap tidak layak adalah catatan performanya yang medioker sepanjang delapan pertandingan di bawah asuhannya dengan hanya tiga kemenangan satu hasil imbang dan empat kekalahan yang mencerminkan inkonsistensi dalam menerapkan formasi dasar. Di bawah Shin Tae-yong pendahulunya Timnas sempat menunjukkan kemajuan signifikan di ASEAN Cup dan kualifikasi sebelumnya namun era Kluivert justru ditandai dengan dominasi tanpa hasil manis di mana tim sering kali menguasai penguasaan bola tapi gagal mencetak gol krusial karena kurangnya variasi serangan. Kritik dari pengamat sepak bola Belanda sendiri yang menyebut Kluivert dan asistennya tidak layak menangani timnas negara Asia menegaskan bahwa pengalaman pelatih ini lebih banyak di level klub Eropa seperti NEC Nijmegen atau CuraƧao yang tidak sekompleks tuntutan timnas senior di kompetisi internasional. Selain itu gaji tinggi yang diterima Kluivert sekitar lima juta euro per tahun menjadi beban finansial bagi PSSI yang seharusnya dialokasikan untuk pengembangan infrastruktur atau beasiswa pelatih lokal sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi talenta Indonesia yang lebih paham kultur sepak bola Nusantara.

Lebih dalam lagi pendekatan Kluivert yang kurang fleksibel dalam rotasi pemain telah mengakibatkan kelelahan fisik bagi bintang-bintang seperti Pratama Arhan dan Asnawi Mangkualam yang sering dipaksa bermain penuh tanpa istirahat memadai. Di sepak bola Asia di mana pertandingan sering berdekatan dengan jeda sempit strategi ini justru memperlemah daya tahan tim dan membuka celah bagi lawan seperti Arab Saudi yang memanfaatkan counter-attack efektif. Kluivert juga tampak lambat dalam mengintegrasikan pemain naturalisasi baru yang menjadi andalan Garuda sehingga potensi hybrid timnas tidak tergali maksimal dan malah menimbulkan ketegangan internal di ruang ganti. Evaluasi dari manajer tim yang menyerukan perubahan segera menunjukkan bahwa kepemimpinan Kluivert lebih mirip eksperimen daripada komitmen jangka panjang yang dibutuhkan untuk membangun identitas sepak bola Indonesia yang kompetitif di level Asia Tenggara maupun Asia secara keseluruhan.

Pada akhirnya kegagalan ini bukan hanya tanggung jawab Kluivert tapi juga pelajaran bagi PSSI untuk lebih selektif dalam memilih pelatih asing yang harus memiliki rekam jejak sukses di lingkungan serupa bukan hanya bergantung pada nama besar masa lalu. Indonesia membutuhkan pelatih yang bisa menjembatani gaya Eropa dengan adaptasi lokal seperti yang pernah dilakukan oleh pelatih-pelatih Asia sukses di klub-klub Eropa untuk memaksimalkan talenta muda seperti Arkhan Kaka atau Hokky Caraka. Dengan demikian mempertahankan Kluivert justru berisiko menghambat kemajuan sepak bola nasional yang sudah terlambat dibandingkan tetangga seperti Vietnam atau Thailand yang lebih konsisten dalam pembinaan. Harapannya PSSI segera melakukan evaluasi mendalam untuk mengganti dengan figur yang lebih tepat guna mewujudkan mimpi Garuda di turnamen besar mendatang.