OLAHRAGA

Akhir Perjalanan Singkat Patrick Kluivert di PSSI

Keputusan PSSI untuk memecat Patrick Kluivert secara resmi hari ini menandai akhir dari babak singkat namun penuh gejolak dalam sejarah tim nasional sepakbola Indonesia. Pengumuman yang disampaikan oleh ketua umum PSSI melalui saluran resmi organisasi ini datang setelah rapat darurat yang berlangsung semalaman di markas federasi dan melibatkan seluruh anggota eksekutif komite. Kluivert yang direkrut dengan biaya fantastis sekitar dua miliar rupiah per bulan ini awalnya dipandang sebagai solusi instan untuk mengatasi stagnasi performa tim Garuda yang gagal meraih gelar apa pun di level Asia sejak satu dekade terakhir. Namun kini setelah hanya menangani 12 pertandingan resmi ia harus meninggalkan kursi panas karena dianggap gagal memenuhi target minimal yakni membawa tim ke semifinal Piala AFF musim lalu yang berakhir dengan eliminasi dini di babak grup.

Latar belakang Kluivert sebagai pelatih memang tidak bisa diremehkan karena ia pernah sukses membimbing tim muda Belanda meraih juara Eropa U-21 dengan gaya permainan menyerang yang atraktif dan berbasis pada penguasaan bola total. Saat tiba di Jakarta enam bulan lalu ia langsung melakukan revolusi dengan merekrut staf Eropa lengkap mulai dari analis data hingga fisioterapis spesialis yang sempat membuat heboh media nasional. Sayangnya implementasi visi tersebut bertabrakan dengan realitas infrastruktur sepakbola Indonesia yang masih tertinggal seperti lapangan latihan berstandar rendah di beberapa daerah serta jadwal padat liga domestik yang membuat pemulihan pemain terganggu. Dalam wawancara pasca-pertandingan terakhir melawan Malaysia Kluivert sempat mengeluhkan kurangnya komitmen dari klub-klub Liga 1 yang enggan melepaskan pemain kunci untuk sesi latihan tambahan sehingga strategi jangka panjangnya tidak bisa terealisasi sepenuhnya. Isu ini diperparah dengan tuduhan nepotisme ketika ia lebih memprioritaskan pemain keturunan Belanda di tim U-23 yang dianggap merugikan talenta asli Indonesia seperti bek muda potensial dari Sulawesi yang terpinggirkan.

Kontroversi seputar Kluivert tidak berhenti di lapangan karena di luar itu ia sering terlibat dalam perdebatan publik dengan federasi terkait anggaran operasional yang menurutnya terlalu ketat untuk standar internasional. Pada bulan lalu misalnya ia menolak proposal PSSI untuk mengurangi jumlah staf asing demi menghemat biaya yang berujung pada ketegangan terbuka di media. Para mantan pelatih nasional seperti Niko Kovac yang pernah singgah di Indonesia sebelumnya menyatakan bahwa tantangan terbesar bagi pelatih asing adalah memahami hierarki budaya di mana keputusan akhir sering kali berada di tangan eksekutif federasi bukan pelatih kepala. Reaksi dari komunitas sepakbola nasional terhadap pemecatan ini cenderung campur aduk di mana sebagian besar penggemar di Jawa Tengah dan Timur mendukung langkah PSSI sebagai bentuk pembelaan terhadap identitas lokal sementara kelompok suporter di ibu kota justru menyalahkan federasi atas kurangnya kesabaran dalam memberi kesempatan. Sebuah survei cepat oleh portal olahraga online menunjukkan bahwa 62 persen responden setuju dengan pemecatan ini dengan alasan bahwa sepakbola Indonesia butuh pemimpin yang paham akar rumput bukan hanya teori buku.

Pemecatan Kluivert juga membawa implikasi ekonomi yang signifikan bagi ekosistem sepakbola nasional karena kontraknya yang tersisa hingga akhir tahun harus dibayar penuh sesuai klausul penalti senilai ratusan juta rupiah. Hal ini memaksa PSSI untuk mencari sponsor baru guna menutup defisit anggaran sementara program pengembangan pelatih lisensi AFC yang sempat diawasi Kluivert kini berada di ujung tanduk. Di sisi positif langkah ini membuka ruang bagi kolaborasi dengan pelatih Asia seperti Ange Postecoglou yang pernah sukses di Australia atau bahkan menggandeng eks pelatih Jepang untuk transfer ilmu yang lebih relevan.